--> Skip to main content

Cerpen Kado Untuk Ibu

Aisyah Az-Zahra, biasa dipanggil Aisyah adalah seorang anak berumur 8 tahun yang sudah bekerja mencari penghasilan bagi keluarga kecilnya. Ayahnya meninggal 5 tahun lalu, karena penyakit jantung yang menyerangnya. Sejak kepergian ayahnya, kehidupan keluarga Aisyah berubah drastis. Ibu Aisyah tidak pernah lagi mau mengurus ketiga anaknya. Saat itu pula mereka hanya bertempat tinggal di sebuah gubuk beralas koran yang kanan-kirinya terdapat banyak sampah menggunung.

Aisyah anak sulung dari 3 bersaudara, adik keduanya bernama Umar berumur 5 tahun yang setiap hari berkeliling di tengah keramaian lalu lintas kota untuk menjual koran bersama kakaknya, sedangkan adik bungsu Aisyah bernama Sofia yang kemarin baru saja berulang tahun ke-3. Setiap hari, Aisyah mengurus kedua adiknya sendiri seperti layaknya ibu rumah tangga. Ibunya sendiri bahkan acuh tak acuh dengan keadaan keluarganya, Namun pekerjaan itu tetap dengan ikhlas ia laksanakan tanpa mendapat balasan apapun.

Siang itu di Ibukota terlihat gelap. Awan hitam tebal menyelimuti langit kota ini. Namun Aisyah dan Umar tidak memperdulikannya, ia tetap semangat menjual koran-korannya walaupun hujan mengguyur seluruh tubuhnya.
“Alhamdulillah!!” seru Aisyah, ia sangat menyukai hujan. Karena hujan adalah rezeki pemberian dari Allah, dan juga hujan dapat memberikan arti bagi setiap kehidupan. Semua korannya laku terjual tidak terkecuali, Aisyah senang sekali kala itu. Namun saat ia pulang ke rumah, ibunya selalu memarahinya. Karena hasil yang Aisyah dapatkan tidak seberapa dengan keinginan ibunya.


Upah Aisyah dalam menjual koran kurang lebih Rp. 30.000,00 setiap harinya. Ia selalu memberikan Rp.20.000,00 untuk ibunya, dan sisanya ia selalu tabung di celengan ayam pemberian ayahnya dulu sebelum meninggal. Sejak lama Aisyah ingin sekali dibelikan Al Quran, namun keinginannya ia pendam. Ia hanya berniat, suatu saat nanti jika uang tabungannya sudah mencukupi, Aisyah akan membelikan sebuah kalung emas sebagai hadiah ulang tahun untuk ibunya. Aisyah bekerja keras berusaha maksimal dengan sungguh-sungguh dan selalu berdo’a memohon kepada Allah agar ia dapat segera membelikan sebuah kalung untuk ibunda tercintanya.

Aisyah sangat pandai mengaji, suaranya indah, nada serta tajwidnya pun lancar dan benar. Suatu hari, ia mengikuti perlombaan MTQ tingkat kota/kabupaten. Tak disangka Aisyah memenangkan perlombaan tersebut, dan berhasil membawa pulang piala, sertifikat, bingkisan, serta uang senilai Rp. 3.000.000,00. Uang itu segera disimpannya di bawah bantal Aisyah, berharap tidak ada yang akan mengambilnya karena uang itu akan ia belikan sebuah kalung yang dari dulu sangat diinginkan oleh ibunya. Tanpa sepengetahuan Aisyah, uang itu berhasil ada di tangan ibu Aisyah. Aisyah menangis dalam do’anya, mengapa uangnya dapat raib hanya dalam sekejap saja?

Dengan mengikhlaskan uangnya, mendadak Aisyah teringat besok adalah hari ulang tahun ibunya. Ia perlahan memecah tabungannya dan menghitung semua uang hasil jerih payah Aisyah yang telah ia kumpulkan sejak lama. Jumlah seluruhnya Rp. 660.000,00. Aisyah berlari kecil menuju kios Koh Atan yang berada di dekat rumahnya dan memilih kalung yang berinisialkan huruf S untuk Santi. Koh Atan memberikan potongan harga untuk Aisyah, dari Rp. 850.000,00 menjadi Rp. 650.000,00. Aisyah berterima kasih kepada Koh Atan dan segera membayar kalung kemudian pulang dengan perasaan senang.

Aisyah memberikan kado itu kepada ibunya saat beliau sibuk bermain handphone barunya dan tersenyum sendiri di depan layar hpnya. Saat ibu Aisyah membuka kadonya dan mengetahui isinya, ia mendadak berdiri langsung memarahi Aisyah karena kalungnya tidak seperti yang diinginkannya. Kata ibu Aisyah, Aisyah tidak boleh pulang ke rumah sebelum ia berhasil memberinya kalung yang diinginkannya tersebut. Aisyah menunduk, menuruti perintah ibunya dan melangkah pergi. Aisyah mencari uang dengan tidak berjualan koran lagi, melainkan menjadi pengamen jalanan dan membantu mengangkat karung beras karena dikabarkan usaha korannya saat itu sedang gulung tikar.

Menit berganti jam, siang berganti malam, begitupun seterusnya. Aisyah tetap semangat bekerja, dari pagi sampai siang Aisyah membantu mengangkat karung beras dan membantu orang berjualan di pasar, sore hari sampai malam ia mengamen di terminal kota. Tapi belakangan ini Aisyah merasa pusing dan sakit kepala, penglihatannya juga kabur. Pernah saat itu Aisyah pingsan, sampai ada seseorang ibu-ibu yang harus membawa Aisyah ke Rumah Sakit Medika. Menurut analisa dokter, Aisyah mengalami kanker otak stadium IV. Aisyah divonis oleh dokter bahwa umurnya tidak akan lama lagi.

Telah dikabarkan bahwa kemarin sore, ibu Aisyah mengalami kecelakaan yang amat parah hingga mengakibatkan kelumpuhan pada kakinya. Diakibatkan oleh kelalaiannya sendiri, saat itu ibu Aisyah berjalan kaki akan menuju pasar sambil memainkan handphonenya. Sehingga saat akan menyeberang, tanpa ia sadari sebuah mobil pickup besar melaju sangat cepat dan menabrak seseoraag di depannya, ibunda Aisyah.

Sedangkan Aisyah, sehari setelah pulang dari rumah sakit, tanpa ba-bi-bu langsung melanjutkan tugas dari ibunya agar ia dapat segera pulang ke rumah. Namun, karena kerja terus menerus dari pagi hingga malam yang hanya makan sisa makanan di tempat sampah, Aisyah akhirnya tak dapat bertahan. Nasib dan takdir mengubah segalanya. Ia meninggal dunia dengan tenang dan dalam keadaan khusnul khotimah. Ibunda Aisyah sempat shock dan menagis histeris saat mengetahui bahwa putrinya meninggal. Perlahan ia merelakan dan mengikhlaskannya.

Bu Retno, guru mengaji Aisyah datang menghampiri ibunda Aisyah dan memberikannya sebuah amplop kecil bertuliskan Untuk Ibu Aisyah. Dengan tangan gemetar, ibunda Aisyah membukanya. Isi dari amplop tersebut adalah sebuah wasiat dari Aisyah:
“Ibu, maafkan Aisyah. Aisyah tidak dapat memberikan kalung yang diinginkan ibu. Badan Aisyah lemas bu, Aisyah nggak kuat lagi untuk bangun. Kepala Aisyah sakit bu, mata Aisyah seperti ada kabut tebalnya. Aisyah rindu ibu, Aisyah rindu adik-adik Aisyah, Aisyah juga rindu ayah. Tapi Aisyah akan bertemu ayah suatu saat nanti. Aisyah hanya dapat memberikan uang ini bu (Rp. 400.000,00), kalo nggak cukup ibu bisa menukar kalung yang Aisyah belikan dengan yang baru. Terima kasih ibu sudah merawat Aisyah, sudah membesarkan Aisyah, semoga ibu mendapatkan balasan surga dari Allah.”

Air mata ibu Aisyah mulai membendung di pelupuk matanya dan mengalir deras di pipinya. Dengan dibantu Bu Retno, beliau pergi ke makam Aisyah. Memanjatkan do’a dan memberinya sebuah kitab suci, Al-Qur’an. Mulai saat itu, Ibu Aisyah bertaubat dan memulai kehidupannya yang baru.

Cerpen Karangan: Dhea Nadhilah Rizquni S
Facebook: Dheaa Nadilahh
Pelajar
Oldest Post
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar