--> Skip to main content

Burger (Cerpen)



Cerpen Karangan: Muhammad Izzuddin
Kategori: Cerpen Horor (Hantu), Cerpen Thriller (Aksi)
Lolos moderasi pada: 3 April 2018

“Makan apaan lu”

Baru saja beberapa gigitan, sebuah suara menegurku. Aku menengok. Ternyata suara rio. Teman satu kosku.

“Ini nih” kataku sembari lanjut mengunyah. “Daging roti ama bumbu-bumbu dikit”

“Yaa semacem burger gitu lah” ucapku lagi. “Enak banget asli dagingnya”

Terlihat berubah raut wajahnya. Seolah muncul kewaspadaan terhadap sesuatu di sekitar sini. Ia bertanya.

“Lu beli ini di mana?”

“Kenapa emang?” tanyaku dengan dahi mengernyit.

“Udah jawab aja elah”

“Noh di warung seberang”

“Warung yang itu maksud lu?” Jarinya menunjuk ke sebuah tempat makan di seberang jalan. Tertulis besar di depannya. Meat food center. Namun anehnya, kini jelas terlihat rasa cemas pada wajahnya.

“Iya yang itu” jawabku sekenanya. “Langganan gue kalo lagi pengen makan daging”

Rio mengusap wajahnya. Lalu meremas rambutnya dengan kencang. Ditariknya satu kali nafas panjang. Menandakan bahwa ada sesuatu yang mengganjalnya.

“Lu kenapa dah?” tanyaku.

Tanpa satu katapun, pandangan rio langsung diarahkan kepadaku. Tepat ke mataku.

“Ayo ikut gua” ajaknya.

“Ayo ke mana?” Aku kembali bertanya. Kini benar-benar terheran dengan kelakuannya.

Sekali lagi, ia tak menjawab pertanyaanku. Ditariknya dengan kencang tangan kananku sembari kakinya melangkah untuk menyeberang jalan.

“Ehh ini makanan gua ntar jatoh”

“Udah buang aja tuh daging” timpalnya dengan mata mengarah ke seberang jalan.

“Hah? Maksud lu?”

Untuk kesekian kalinya ia mengacuhkanku. Kakinya melangkah lebih cepat dari sebelumnya. Tangannya masih menarik tangan kananku dengan kencang. Jadi dengan terpaksa, sekarang aku mengikutinya.

Kami baru saja sampai di seberang, namun rio segera melangkahkan kaki menuju tempat makan yang tadi kuberitahu. Ia memberi isyarat agar aku kembali mengikutinya. Kuhabiskan sisa makanan yang tadi kubeli di sini, lalu aku menyusul rio yang sudah duduk di sudut ruangan. Tempat duduk itu berjarak hanya beberapa langkah dari pintu dapur tempat makan ini.

“Lu ngapain sih sebenernya?” kulihat pandangannya diedarkan ke penjuru ruangan. “Mana lu milih tempat duduknya pojok banget lagi”

Masih tak ada tanggapan dari dia. Namun kini, aku mulai kesal.

“Woi lu denger gua kan?” kataku dengan menekankan suara.

“Ayo masuk”

“Hah? Mau ke mana lagi?”

“Kecilin suara lu” ucapnya setengah berbisik. “Atau kita bakal ketauan”

Dahiku mengernyit. Aku benar-benar tak mengerti apa yang dipikirkannya.

Rio membuka pintu dapur. Pandangannya diedarkan ke penjuru ruangan sekali lagi. Mungkin untuk memastikan bahwa tak ada yang melihat kami.

Kami berdua masuk ke dalam dapur sembari memelankan langkah kaki.

Sebenarnya hanya rio yang memelankan langkah kakinya. Namun aku, aku hanya mengikuti apa yang dia lakukan. Terlebih setelah mendengar ucapannya di tempat duduk tadi.

Kami berdua merapat ke dinding dapur. Menunduk di belakang deretan meja dapur. Menurutku ini tempat yang cukup tepat jika memang niat kami adalah untuk bersembunyi.

Kulihat beberapa petugas dapur berlalu lalang melewati kami begitu saja. Hingga ketika tak ada satu orangpun yang melintas, rio memberikan arahan kepadaku agar memasuki sebuah pintu di dapur ini. Jaraknya sekitar dua meter dari tempat kami sekarang.

“Kita jalan ke sana”

Kali ini aku tidak membantahnya lagi. Sudah kuputuskan untuk mengikuti apapun yang dikatakannya.

Pintu itu dibuka oleh rio. Kemudian kami mulai melangkah masuk. Sangat sepi disini. Tak ada satu orangpun petugas dapur yang kulihat. Hingga sekitar lima meter selanjutnya, dahiku kembali mengernyit.

“Ini kok ada pintu lagi?”

Tanyaku sembari melihat sebuah pintu besi yang cukup besar di hadapanku. Namun ia, ia malah menatapku dengan serius saat menanggapi ucapanku.

“Lu bakal ngeliat sesuatu yang diluar perkiraan” katanya. “Dan gua minta lu jangan lari gitu aja setelah ngeliat hal itu”

“Lu gak pengen kita ketauan kan?”

Aku menghela nafas panjang. Tak habis pikir ia selalu mengatakan sesuatu yang membuatku bingung.

“Tolong nih ya” ucapku. “Lu kalo ngomong tuh yang jelas”

“Biar gua ngerti maksud omongan lu”

“Ntar juga lu bakal ngerti” Ia menjawab sekenanya, kemudian segera membuka pintu. Ini berati pintu yang ketiga.

Aku menaikkan sebelah alis saat kudapati sebuah tangga di balik pintu itu. Sebuah tangga yang menuju ke arah bawah.

Rio mengacuhkan keherananku, ia berjalan melewati pintu terlebih dahulu. Tepat seperti sebelumnya.

Tak menunggu waktu lama bagi kami agar sampai di ujung anak tangga. Kami berdiri terdiam untuk beberapa saat. Melihat sebuah lorong yang cukup gelap. Itu adalah yang kami temui di sini. Aku tak berkomentar tentang ini karena kuyakin rio tak akan memberi penjelasan yang tuntas kepadaku.

Cukup jauh kami berjalan di sepanjang lorong ini, tak ada satupun orang yang kami temui. Tak ada juga satupun obrolan yang kami mulai.

Mungkin sekitar lima menit berlalu, hidungku mulai mencium aroma yang aneh.

Aku menggerakkan tangan kepada rio sebagai tanda bahwa aku bertanya mengenai ini. Namun dia hanya meletakkan jari telunjuknya tepat di depan mulut. Isyarat bahwa aku harus diam.

Sembari kami melangkah, aroma ini semakin menyeruak ke dalam hidung. Hingga ketika kami sampai pada sebuah belokan. Hidungku hampir saja tak kuat menahan aroma ini.

Kutahu ini adalah satu-satunya belokan di lorong ini. Kutahu juga bahwa aroma ini adalah aroma anyir darah. Dan itu mulai menggangguku.

Kaki kami sudah melewati belokan itu. Kini ada hal lain lagi yang akan mengantarkan kita ke ruangan lainnya. Itu bukanlah sebuah pintu. Melainkan sebuah plastik putih tebal yang disusun hingga berbentuk seperti tirai. Itu cukup untuk menutupi sesuatu di baliknya.

Sesuatu yang beraroma anyir darah. Sesuatu yang sekarang benar-benar menggangguku.

Rio mulai menyingkap plastik tebal itu dengan kedua tangannya. Aku hanya dapat mengikutinya dari belakang.

Dan yang kutemukan di dalam ruangan ini membuatku sangat terkejut. Mataku membelalak lebar. Tanganku langsung menutup hidungku. Sebisa mungkin menahan aroma anyir darah yang sangat kuat.

Perutku mulai terasa mual. Hingga akhirnya, aku memuntahkan isi perutku seketika. Semuanya berceceran ke lantai ruangan ini.

Aku melihat daging yang masih penuh dengan darah tergantung berderet di hadapanku. Namun yang lebih membuatku tak tahan, bentuk daging itu menyerupai tubuh manusia. Ah tidak, aku benar-benar yakin itu adalah manusia.


“Woi ini apaan!?” tanyaku sembari mencengkram bahu rio.

“Ini bentuk daging itu sebelum dimasak” jawabnya dengan datar.

“Maksud lu!?”

“Ini yang tadi lu makan”

“Lu kaga lagi bercanda kan!?”

“Lu pikir gua ngajakin lu ke sini buat bercanda?”

“Masa tempat makan tadi stock dagingnya dari sini”

“Terus lu pikir dari mana mereka dapet daging hah?”

“Ya tapi kan..” aku meremas rambut dengan kencang. “Wah asli ini gila banget..”

“Ini tempat nyimpen bahan baku warung itu” ujarnya. “Di belakang sana ada ruangan buat bersihin ini semua biar bisa dimasak”

“Terus kita mau masuk ke sana sekarang?” tanyaku sembari mulai berkeliling mengitari ruangan ini.

“Kagak, lu gak bakal kuat masuk ke sana”

“Jadi selama ini yang gua makan di warung itu..” kuremas perutku yang mulai kembali mual.

“Orang-orang ini korban dari humman trafficking” rio mulai menjelaskan. “Ada yang diculik dari panti asuhan, ada yang dibeli dari pasar gelap, dan ada juga tuna wisma yang ditarik gitu aja”

“Buat dijadiin kayak gini?”

“Iya” jawabanya. “Gak nanggung-nanggung human trafficking tuh warung”

“Maksudnya?”

“Jaringan mereka udah tingkat internasional”

“Gila emang tuh warung”

“Eropa sama afrika jadi produsen utama warung ini”

“Asli produsennya dari sana beneran?”

“Iya” jawabnya. “Lu tau sierra leone?”

“Kagak”

“Itu negara pusat mereka di afrika”

“Kalo eropa?”

“Banyak banget kalo di sana”

Mataku menelusur bagian daging di hadapanku ini. Bola matanya hilang. Kulitnya tak lagi bersisa. Darahnya segar mengucur.

Aku mengusap kepalaku. Tak habis pikir bahwa seoonggok daging ini adalah seorang manusia sepertiku.

“Siapa yang tega ngelakuin ini semua gila?”

Aku bertanya. Namun kali ini seperti diarahkan untuk diriku sendiri.

“Pemilik warung itu udah pasti dihukum mati kata gua” lanjutku. “Kriminal banget ini mau diliat dari mana aja”

“Mana gua hampir tiap hari beli daging di sono lagi” aku masih mengitari ruangan ini. “Apalagi kalo lagi libur”

“Dan anehnya gua sama sekali gak ngerasa curiga ama daging-daging yang gua makan”

Aku melangkahkan kaki lebih jauh. Entah kenapa rasa penasaranku mengalahkan bau anyir ini.

“Tapi kok disini gak ada yang jagain sama sekali ya?”

“Dan..” kini mataku menatap beberapa anggota tubuh yang terpotong. “Kok lu bisa tau banyak sih?”

Mataku masih belum berpindah pandangan. Tanganku menutup hidung untuk menghalangi bau anyir di sekelilingku.

“Woi itu gua nanya”

Rio masih tak menjawab. Aku tak merasa heran dengan kelakuannya. Namun untuk sekarang, aku benar-benar menginginkan sebuah jawaban darinya.

“Eh jawab lu”

Hanya keheningan yang kudapati. Sama seperti sebelumnya.

“Buat sekarang lu harus jawab, rio” kini sedikit kutekankan suaraku. “Dari mana lu tau info sebanyak itu?”

Masih sama. Kini aku mulai kesal. Kuputuskan untuk kembali ke tempat kami berdiri tadi.

“Lu harus jawab”

Aku berucap setelah pandanganku mengarah ke tempatnya tadi berdiri. Namun sekarang, ia tak ada di sana.

“Di mana lu?” aku bertanya.

“Rio?”

“Rio?”

“Rio..”

Aku berhenti memanggilnya. Karena aku merasa ia sudah tidak berada di dalam sini. Benar-benar hening. Hanya tetesan darah segar yang kudengar.

Kuedarkan pandanganku sekali lagi sembari melangkahkan kaki menuju tirai plastik.

Namun tiba-tiba saja, telingaku mendengar sesuatu. Sumber suaranya tepat di belakangku. Itu seperti sebuah besi yang diayunkan.

Kucoba melihatnya dengan ujung mataku, dan akhirnya aku benar-benar terkejut.

Sebuah kapak bergerak cepat mengarah ke leherku. Hanya sesaat waktu yang kumiliki.

Untungnya tepat pada detik terakhir, aku dapat menghindar. Entah sudah menjadi apa leherku jika aku masih terdiam di tempat itu.

Namun aku terjatuh karena tergesa saat menghindar. Tubuhku membentur lantai cukup keras. Mataku membelalak menatap orang yang mengayunkan kapak itu.

“Rio lu ngapain woi!?” aku beteriak keras.

“Ini sebabnya gua bisa tau banyak tentang warung itu”

Dia mengangkat kapak itu tinggi-tinggi. Aku melihat tatapannya benar-benar dingin. Dia sangat berbeda dengan rio yang kukenal.

“Woi tunggu tunggu!”

Pintaku sembari berteriak. Ia mengangkat kapak itu semakin tinggi.

“Rio stop!”

“Rio jangan!!”

Ia mulai mengayunkan kapak itu sekuat tenaga.

“Woi dengerin gua!!”

Kulihat besi itu semakin kencang mengarah ke kepalaku. Tak terlihat belas kasihan sedikitpun di matanya.

“Rio stop woii!!”

Rasa takut sudah memenuhi diriku sepenuhnya. Hingga akhirnya aku hanya bisa berteriak. Setidaknya itu yang bisa kulakukan sebelum aku bergabung dengan gelonggongan daging di ruangan ini.

“Stooopp!!”

Seketika mataku terbuka lebar. Aku terbangun dari mimpi burukku. Keringat sudah mengucur deras memenuhi wajahku. Nafas benar-benar tak beraturan keluar dari hidungku.

Aku mengalami mimpi yang sangat buruk. Aku tersengal. Aku berkeringat. Dan aku terikat.

Tunggu, aku terikat? Bagaimana mungkin? Kucoba menggerakkan tanganku. Malah rasa sakit yang mendatangiku. Kini giliran kakiku yang kuangkat. Ah, ini terasa nyeri.

“Yogi udah gua iket di dalem bos”

Ucap seseorang dari balik pintu ruangan ini. Kepalaku terasa sangat pusing. Entah bagaimana caranya aku bisa berbaring di ruangan ini. Dan entah mengapa aku merasa terbiasa dengan suara orang di balik pintu itu.

“Dia masuk semua kriteria yang gua kasih tau kan?” lawan bicara yang mungkin tadi dipanggil bos bertanya.

“Beres bos” jawab suara yang kudengar lebih awal. “Tinggal eksekusi aja”

“Emang selalu bagus hasil kerja lu” timpal si bos. “Gua suka nih kalo gini”

“Haha bos gak usah muji gitu lah”

“Nih gua kasih sekarang aja lah ya” ia melanjutkan. “Udah gua taruh juga bonusnya di amplop itu”

“Wah makasih banget nih bos”

“Santai aja asal kerja lu bener haha”

“Oke bos siap”

“Ya udah gua cabut dulu nih ya”

“Okee”

“Lu urusin dah tuh si yogi”

“Siap laksanakan bos”

Aku mendengar langkah kaki menjauh. Kuyakin itu adalah orang yang dipanggil bos. Tetapi sekarang, ada dua hal yang sangat menggangguku.

Pertama, mereka menyebutkan nama yogi beberapa kali. Aku mengernyitkan dahi. Apakah yogi yang dimaksud oleh mereka adalah aku, atau bukan. Mungkin itu adalah orang lain. Hanya saja nama kami berdua sama.

Dan hal lainnya yang mengganjalku. Suara familiar itu. Aku merasa sangat sering mendengarnya. Mungkin di kosanku. Bahkan mungkin di mimpi buruk.. Tunggu, jika itu memang benar, berarti pemilik suara itu adalah..


“Udah bangun lu ternyata”

Ucap rio setelah membuka pintu ruangan ini. Ia menutup pintu itu. Kemudian berjalan mendekatiku.

“Lepasin ini tali” kataku.

“Ngapain dilepasin?”

“Lepasin gua bilang”

“Buat apa?”

“Ini maksudnya apaan gila?”

“Gak ada maksud apa-apa, yogi”

“Gua tadi mimpi kalo lu ngebunuh gua pake kapak” dia hanya tertawa. “Tapi waktu gua bangun, gua malah keiket kayak gini”

“Lu cuma perlu diem di situ aja”

“Diem gimana?”

“Santaii”

“Lepasin ini iketan gila!”

Kini dia sudah berdiri di sampingku. Ia menatapku sesaat. Kemudian ia mengambil sesuatu di bawah ranjang tempatku berbaring.

Itu sebuah kapak. Sama persis dengan kapak yang muncul di mimpiku tadi.

“Rio stop sekarang!” rasa takut seketika memenuhiku. “Lu kenapa jadi gila gini hah!?”

“Woi dengerin gua!” keringat dingin semakin deras membasahi kasur tempatku berbaring. “Gua temen lu rio!!”

“Gua udah dibayar banyak sama pemilik warung daging yang ada di mimpi lu” tangan kirinya menunjukkan sebuah amplop besar kepadaku. “Gak mungkin kan gua makan gaji buta”

“Gua bisa bayar lu lebih banyak dari itu!” ia memasukkan amplop itu ke saku celananya. “Lu harus hentiin ini sekarang!”

Dia mengangkat kapak itu dengan kedua tangannya. Sangat tinggi dalam pandanganku. Aku melihat tatapannya benar-benar dingin. Kini aku mengenalnya sebagai seorang kriminal.

“Woi stop stop!” pintaku sembari berteriak. “Jangan!!

Pantulan cahaya besi dari kapak itu membuat kilatan yang sangat mengerikan. Aku getir menatapnya.

Kini rio mengayunkan kapak itu sekuat tenaga.

“Jangaan jangaan!!” aku tak dapat melakukan perlawanan. “Rio stop woii!!

Ketakutan sudah sempurna menyelimuti diriku. Hingga akhirnya aku hanya berteriak sekuat tenaga. Setidaknya itu yang bisa kulakukan. Sebelum kepalaku terlepas di dalam ruangan ini.

“Stooopp!!”

Seketika rasa sakit memenuhi seluruh tubuhku. Terutama pada bagian leher. Darah mengucur deras begitu saja. Tanpa hentinya membuat ranjang tempatku berbaring memerah.

Kurasakan rio mengayunkan kapak berkali-kali ke leherku. Sangat sakit rasanya.

Dia tidak berhenti sampai kepalaku benar-benar terlepas. Kemudian menggelinding begitu saja di lantai ruangan ini.

Dan sekarang, aku tak merasakan apapun. Pandanganku gelap. Telingaku tak dapat mendengar sama sekali.

Namun hal terakhir yang kutahu, rio tersenyum lebar di sampingku. Wajah dan tangannya dilumuri oleh darah seseorang. Darah yang sangat segar. Darah teman satu kosnya. Darah diriku yang telah tewas.


Cerpen Karangan: Muhammad Izzuddin
Facebook: Muhammad Izzuddin

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar